Prancis dan Bayang Sayap Kanan: Ancaman bagi Uni Eropa?

Laras Kineta
8 min readJan 16, 2022

--

Sumber: UnHerd

Esai ini dibuat untuk pemenuhan penugasan kelas Politik Internasional.

Tahun 2016 menjadi titik mula popularitas terma ‘populisme’, dengan terpilihnya Donald Trump dalam Pilpres AS 2016 dan gencarnya wacana Brexit. Guardian menerbitkan sekitar dua ribu artikel yang memuat kata ‘populisme’ di 2016 (Rooduijn, 2018) dan di 2017, Cambridge menobatkan ‘populisme’ sebagai word of the year. Tren populisme menjadi sorotan khususnya di Eropa, dengan proliferasi figur dan partai populis sayap kanan di beberapa negara. Marine le Pen –kerap dijuluki sebagai Trump-nya Prancis– dari partai populis National Rally (sebelumnya National Front) yang berhasil memasuki ronde final Pilpres Prancis 2017 menjadi fokus dari tulisan ini, melalui pemahaman populisme dalam perspektif studi Hubungan Internasional konstruktivis. Partai populis Le Pen mengutilisasi konstruksi identitas, kepentingan, dan musuh yang menggambarkan proposal mereka sebagai suatu perlindungan yang krusial untuk membela identitas nasional, namun kerap kali tampak abai pada isu politik konkrit. Seperti figur politik populis pada umumnya, Populisme membingkai politik sebagai suatu pertentangan antara massa pada umumnya melawan sekelompok elit politik yang dianggap korup, menarik pendukung dengan membungkus kepentingannya dalam fasad kebutuhan massa yang berada dalam bahaya di bawah pemimpin saat ini. Tulisan ini selanjutnya ingin menelisik bagaimana naiknya popularitas partai populis National Rally pimpinan Le Pen dalam membawa perdebatan yang lebih esensial dari semata-mata kebijakan sayap kanan atau kiri, yakni perdebatan mengenai identitas Prancis sendiri dan bagaimana narasi-narasi ini dapat membahayakan semangat solidaritas Eropa (yang mana dalam proses realisasinya Prancis turut serta berkontribusi). Setelah elaborasi pemahaman populisme dalam perspektif konstruktivis, argumen yang ingin disampaikan terdiri dari bagaimana isu yang diangkat partai Le Pen beresonansi dengan pendukungnya, implikasinya dalam konteks kompetisi pemilihan presiden di Prancis (2017 dan visi 2022) yang mengaburkan polarisasi kanan-kiri, dan posibilitas masa depan hubungan Prancis dalam Eropa sebagai suatu unit.

Populisme dalam Konstruktivisme

Para pembelajar yang mencoba memahami populisme dengan lebih sederhana (misalnya Akkerman, Mudde, dan Zaslove 2014; Kriesi dan Pappas 2015; Rooduijn 2014; Stanley 2008; dan Van Kessel 2014) mengusulkan untuk melihat populisme yang dibentuk oleh empat gagasan yakni keberadaan dua kelompok homogen, yaitu, “rakyat” dan “elit yang mapan”, hubungan antagonis di antaranya; dimana “orang-orang” digambarkan sebagai berbudi luhur, dan kaum elit direndahkan; dan kehendak rakyat dianggap sebagai sumber utama legitimasi (kedaulatan rakyat). Kombinasi keempat gagasan inilah yang memberi populisme logika yang spesifik dan diskursif (Spruyt, Keppens & Van Droogenbroeck, 2016). Aspek keempat yang menempatkan kehendak rakyat sebagai sumber utama legitimasi otoritas pemimpin membuka ruang yang cukup prospektif bagi pihak yang mampu membungkus kepentingannya dalam fasade ‘kehendak rakyat’. Celah ini yang memberi ruang bagi pembentukan kekuatan dalam konstruktivisme, yang meyakini bahwa politik internasional dibentuk oleh ide-ide persuasif, nilai-nilai kolektif, budaya, dan identitas sosial. Individu dan kelompok menjadi lebih kuat jika mereka dapat meyakinkan orang lain untuk mengadopsi ide-ide mereka (Snyder, 2004). Sumber daya material, seperti yang berkontribusi pada kekuatan militer dan ekonomi, hanya dapat berfungsi ketika memperoleh makna yang dapat mempengaruhi tindakan manusia melalui struktur pengetahuan bersama dimana mereka tertanam (Kegley & Raymond, 2011). Konstruktivisme kritis lebih lanjut mengakui alienasi sebagai sesuatu yang “mengarahkan kebutuhan akan identitas” dan dengan demikian menekankan perlunya “orang lain” (the other) untuk membangun identitas seseorang (Hopf, 1998).

Partai populis menarik bagi dua kelompok: segmen berpenghasilan rendah (tetapi tidak eksklusif yang berpenghasilan terendah) dan kelas menengah. Populisme tidak mudah untuk didefinisikan, tetapi efeknya terlihat ketika ia menantang demokrasi liberal, pluralisme, hak asasi manusia, dan kebebasan pertukaran ide. Dalam masa depan Eropa, partai populis dapat memperoleh pengaruh melalui seruan-seruan seperti penghentian penerimaan migrasi, penghentian euro, dan keinginan keluar dari komitmen internasional dalam isu humaniter dan iklim (Aiginger, 2019). Figur politik yang karismatik dan influensial juga berperan besar dalam suatu pendekatan populisme. Figur ini yang kemudian menyalurkan dan menegaskan gambaran ‘musuh’ yang kerap kali tidak jauh dari hal-hal seperti media sebagai sesuatu yang manipulatif dan kerap berbohong, negatifnya globalisasi, dan kelompok minoritas yang dianggap mengancam kemurnian identitas nasional. Dalam konteks perpolitikan Prancis dan kebangkitan partai-partai populis sayap kanan di beberapa negara Eropa lain seperti Jerman dan Itali, nilai kolektif yang digunakan untuk mencapai sumber daya material berupa kekuatan dukungan untuk menempati kursi-kursi kekuasaan adalah hasil kombinasi dari pendekatan figur politik populis yang karismatik, dengan premis mengembalikan kekuasaan ke tangan penghuni natif, mengembalikan kejayaan yang pernah ada.

Marine Le Pen; Pembaharuan Citra Front Nasional hingga Ronde Final Pilpres 2017

Populis bertumbuh subur dalam latar yang menggambarkan partai-partai arus utama kiri dan kanan bertemu atau bergabung secara ideologis. Jika ini masalahnya, banyak pemilih akan rentan terhadap pesan bahwa partai-partai politik arus utama semuanya satu dan sama (Rooduijn, 2014). Le Pen akhirnya menduduki tahta pimpinan Front Nasional (sekarang Reli Nasional, selanjutnya disebut RN), partai sayap kanan di Prancis, pada 2011 setelah membuat rebranding besar-besaran dari RN di bawah pimpinan sebelumnya. Marine Le Pen adalah putri dari pendiri partai ini sendiri, Jean-Marie Le Pen. Di bawah Jean-Marie, dengan RN melekat citra anti-semit, anti-Uni Eropa, dan rasis.. Jean-Marie terkenal kerap kali men-downplay kejahatan perang yang dilakukan Nazi pada Perang Dunia II, dengan pernyataan-pernyataan seperti mengatakan bahwa ruang gas yang digunakan untuk membunuh umat Yahudi dalam peristiwa Holocaust adalah sebuah bagian ‘minor’ dalam sejarah PD II, pertama kali pada 1987 dan pada 2016, Pengadilan Paris (untuk ketiga kalinya) mendenda Le Pen € 30.000 (£ 24.000) untuk komentar yang ia tegaskan pada program televisi Prancis pada bulan April 2015 dan mengatakan bahwa ia tidak menyesali komentar tersebut (Chrisafis, 2016). Perkara ini menimbulkan perpecahan dalam RN sebab Marine Le Pen tengah berusaha menjauhkan citranya dari ayahnya, dan membangun citra baru bagi RN dan Jean-Marie dieksklusi dari RN oleh putrinya sendiri. Politik teatrik internal ini, meskipun mendapat tuduhan fabrikasi publisitas, berdampak baik bagi rating suara Partai RN. Dalam putaran terakhir pemilihan nasional pada Desember 2015, jumlah kursi yang ditempati RN di dewan regional naik tiga kali lipat dan memenangkan lebih banyak (hampir 7 juta) suara daripada yang pernah didapatkan dalam sejarahnya (Sayare, 2017).

Reformasi Partai RN nampak cukup sukses hingga mampu membawa Marine Le Pen menjadi salah satu kandidat menjanjikan di Pilpres 2017. Alih-alih pesan anti-semit, RN memproklamirkan diri sebagai protektor identitas dan nilai-nilai nasional Prancis di berbagai pernyataan publiknya. Dengan agenda mengembalikan identitas dan hegemoni nilai-nilai Prancis yang dipersepsikannya, intensi Le Pen kerap kali tampak xenofobik dan mendiskriminasi ras –tidak jarang disamakan dengan yang terlihat pada Donald Trump. Bagi Le Pen, terdapat ‘kultur’ otentik Prancis yang kelestariannya terancam oleh globalisasi, ide unifikasi Eropa, dan penerimaan migran. Dalam kampanye kepresidenannya di 2017, Le Pen menyampaikan bahwa terutama bagi orang-orang dari origin dan kepercayaan berbeda yang telah ‘diterima’ Prancis, ia mengingatkan sesuatu yang ‘sudah jelas’, bahwa: tidak ada, dan tidak akan ada, hukum dan nilai-nilai di Prancis selain nilai dan hukum Prancis itu sendiri (Vox, 2017). Momentum krisis pengungsi 2015 dimanfaatkan Le Pen untuk mengelevasi platform nasionalisnya, memanfaatkan rasa ‘tidak aman’ dan ketidakmampuan pemerintah dalam menjaga perbatasan untuk mengkampanyekan seruan anti-imigrasi. Meskipun tidak sepenuhnya berkaitan, beberapa peristiwa penembakan massal di Prancis memupuk rasa ketidakamanan –mendorong lebih banyak dukungan pada kebijakan penutupan perbatasan dan penolakan migrasi pengungsi. Di sisi lain, insekuritas ini medorong pada masyarakat mencari pihak yang dapat diantagonisasi. Le Pen pun menunggangi ombak ini dengan mengidentifikasi fundamentalis Islam sebagai dalang dalam Tragedi Paris melalui pidatonya di pertemuan Parlemen Eropa. Pembicaraan mengenai penggunaan hijab dan Islamisme di Prancis pun meroket kembali, dan Le Pen mengambil sikap tegas ingin melarang penggunaan hijab dalam nama perlindungan lagi-lagi, identitas nasional Prancis.

Proyeksi Pilpres Prancis 2022 dalam Bayang Populisme Sayap Kanan

Tendensi proteksionis Le Pen tidak berhenti di konteks isu domestik, namun turut berintensi untuk mereformasi orientasi kebijakan kerjasama internasional Prancis. Suara-suara anti-globalisasi dan anti-Uni Eropa kerap mewarnai kampanye Le Pen di 2017, diklaim sebagai ancaman terhadap nilai-nilai Prancis. Dalam kampanyenya, Le Pen menyuarakan keinginan untuk adanya Frexit (French Exit), meneladani Inggris yang meninggalkan UE. Ia juga menyuarakan keinginan untuk meninggalkan mata uang tunggal Euro. Kontras dengan pemenang Pilpres 2017, Macron, yang kampanye dan kebijakannya kooperatif dengan Uni Eropa. Macron, berangkat dari latar belakang ekonomi sebagai bankir, menjunjung tinggi prinsip sentrisme bahkan menolak untuk diasosiasikan baik dengan ideologi kiri maupun kanan. Ketika Emmanuel Macron memenangkan eleksi kepresidenan 2017, ia digadang-gadang sebagai salah satu pemimpin yang berpotensi untuk memberhentikan perkembangan politik populisme sayap kanan di Eropa, namun sentrisme Macron-pun mulai pudar ketika kepresidenannya harus menghadapi berbagai masalah mulai dari skandal gaya hidup mahalnya, skandal Benalla, hingga reformasi kebijakan pensiun yang diwarnai protes.

Melonjaknya popularitas Le Pen dan populisme sayap kanannya, meskipun masih dapat dikatakan belum mampu untuk membawanya menduduki tahta kepresidenan dalam waktu dekat, terlihat menunggangi tren yang terus naik. Le Pen sudah meresmikan keikutsertaannya dalam Pilpres 2022 dengan optimis. Dalam kampanyenya untuk masa jabatan 2017–2022, Le Pen secara konstan berada persis di bawah Macron dengan margin kurang dari 5 persen (Bloomberg, 2017) meskipun akhirnya kalah dalam pemilihan final dengan mendapat sedikit melebihi 33% suara. Namun, margin ini diprediksi akan menipis di pemilihan selanjutnya. Meskipun jika pada akhirnya Le Pen gagal menduduki kursi kepresidenan untuk kedua kalinya, pengaruhnya tentu cukup influensial dalam perpolitikan Prancis. Partai-partai yang berada di tengah-kanan mulai mengadopsi beberapa pandangan Le Pen, menormalisasinya dengan menempatkannya mendekat ke tengah dalam spektrum kanan-kiri (Wildman, 2017). Dan bahkan jika Le Pen kalah, fakta bahwa dia sudah sejauh ini memperlihatkan bagaimana Prancis, dan Eropa secara lebih luas, berubah di era modern: bergeser dari debat yang relatif stabil tentang kesejahteraan ke perdebatan yang lebih dalam atas sifat identitas Eropa.

Prancis dan Eropa di Masa Depan

Lebih luas lagi, Pilpres ini tidak hanya perlu mendapat perhatian karena ‘siapa yang akan menang’. Pilpres ini juga menyoroti bagaimana populis sayap kanan ekstrim seperti Le Pen telah menjadi bagian dari pemilihan umum di berbagai bagian Eropa. Meskipun kebanyakan belum mencapai tahta kemenangan, fakta bahwa mereka semakin memperkecil margin ketertinggalan mengimplikasikan ancaman sistemik bagi Eropa. Prancis adalah salah satu penggagas pembentukan Uni Eropa, dan bersama Jerman menjadi salah satu ekonomi terpentingnya. Apabila Prancis memilih politisi anti-Uni Eropa sebagai pemimpinnya, hal ini akan detrimental (atau bahkan meruntuhkan) bagi proyek Eropa yang dilandasi semangat solidaritas kontinen. Pemilihan Perancis bukan mungkin hanya satu titik data di antara beberapa poin fenomena populisme sayap kanan di Eropa. Namun, mengingat ukuran, kekuatan, dan kepentingan historis Prancis di Eropa, pemilihan akan menjadi titik data yang sangat penting — dan yang akan diawasi dengan cermat bahkan jika tidak ada kejutan pada siapa yang akhirnya menang (Beauchamp, 2017).

REFERENSI

Alginger, K. (2019). Populism: Roots, consequences, and counter strategy | VOX, CEPR Policy
Portal. Retrieved 19 May 2020, from
https://voxeu.org/article/populism-roots-consequences-and-counter-strategy

Beauchamp, Z. (2017). Macron vs. Le Pen: the French presidential election, explained. Retrieved
21 May 2020, from
https://www.vox.com/world/2017/5/5/15543294/french-election-macron-le-pen

Chrisafis, A. (2016). Jean-Marie Le Pen fined again for dismissing Holocaust as ‘detail’.
Retrieved 20 May 2020, from https://www.theguardian.com/world/2016/apr/06/jean-marie-le-pen-fined-again-dismissing-holocaust-detail

Hopf, T. (1998). The Promise of Constructivism in International Relations Theory. In
International Security., Vol. 23, №1, pp. 171–200. London, UK: MIT Press.

Kegley, C. W., & Raymond, G. A. (2011). The global future: a brief introduction to world
politics
. Cengage Learning.

Rooduijn, M. (2018). Why is populism suddenly all the rage?. Retrieved 19 May 2020, from https://www.theguardian.com/world/political-science/2018/nov/20/why-is-populism-suddenly-so-sexy-the-reasons-are-many

Sayare, S. (2017). How Marine Le Pen played the media. Retrieved 21 May 2020, from
https://www.theguardian.com/news/2017/apr/20/how-marine-le-pen-played-the-media

Snyder, J. (2004). One world, rival theories. Foreign policy, (145), 52.

Spruyt, B., Keppens, G., & Van Droogenbroeck, F. (2016). Who supports populism and what
attracts people to it?. Political Research Quarterly, 69(2), 335–346.

Wildman, S. (2017). Marine Le Pen: France’s Trump is on the rise. Vox [Video]. Retrieved
20 May 2020, from https://www.youtube.com/watch?v=BdcrP-5bDIk

--

--