Hubungan Kooperatif Kemaritiman Indonesia-Australia: Potensi dan Tantangan dalam Pencapaian-nya

Laras Kineta
8 min readJan 16, 2022

--

Sumber: PinterPolitik

Esai ini dibuat untuk penugasan ujian akhir semester mata kuliah Hubungan Australia-Indonesia.

Posisi geografis yang berdekatan membuat Indonesia dan Australia berbagi salah satu batas laut terpandang di dunia, lengkap dengan berbagai hubungan unik sebagai tetangga di persimpangan Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, dan tentunya berabad-abad sejarah panjang interaksi antara penduduk Indonesia dan Australia melandasi agenda kerja sama kemaritiman antara Indonesia dan Australia. Sejak pelaut Makassar dan penduduk pulau Indonesia lainnya mulai berdagang dengan orang Aborigin di Australia utara, dan menguat ketika momen-momen seperti Australia mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1940-an dan diperkuat oleh Perjanjian Lombok 2006 untuk mengatasi tantangan keamanan tradisional dan non-tradisional (Mamahit, 2018).

Serangkaian kerjasama lain yang tertuang dalam berbagai perjanjian kooperatif mewarnai hubungan Indonesia-Australia selama bertahun-tahun. Dalam konsep national interest atau kepentingan nasional, negara diasumsikan sebagai aktor rasional yang menentukan tindakannya berdasarkan dominasi pertimbangan yang berpusat pada aktor negara. Negara dalam mengidentifikasi kepentingannya kemudian menjadikan konsepsi ini sebagai pertimbangan dasar dari tindakan yang diambil negara sebagai aktor. Berbagai hubungan bilateral internasional dapat dianalisis berdasarkan konsep pertimbangan ini, tidak terkecuali hubungan Indonesia dan Australia dalam sektor maritim. Dalam hal ini, kepentingan politik luar negeri masing-masing negara menjadi pertimbangan yang mendominasi dalam berjalannya kerja sama antara keduanya. Berlandaskan kontekstualisasi hubungan kerja sama kemaritiman Indo-Australia di atas, penulis ingin kemudian menganalisis lebih lanjut mengenai potensi dan upaya dalam kerja sama ini serta beberapa hambatan yang menjadi tantangan kerja sama ini seperti prioritas kepentingan politik alih-alih kepentingan keamanan dan disparitas dalam sumber daya antara kedua instansi pemerintahan terkait masing-masing.

Dalam Comprehensive Strategic Partnership (CSP) yang merupakan cetak biru hubungan kerjasama Indonesia-Australia, tercantum pada pilar keempat mengenai koordinasi maritim. Dalam pilar ini, tertera bagaimana kedua negara memandang bahwa kerja sama maritim akan sangat penting bagi kepentingan strategis, keamanan, keselamatan, lingkungan, dan ekonomi bersama. Maka dari itu, keduanya berkomitmen untuk memprioritaskan beberapa lingkup kerjasama, meliputi: mendukung tatanan maritim berbasis aturan, yang didukung oleh hukum internasional; arsitektur keamanan maritim dan perlindungan perbatasan; berbagi informasi untuk memerangi kejahatan transnasional terorganisir di laut; interkonektivitas wilayah dan pesisir; keandalan, keamanan, dan efisiensi pelayaran di kawasan; perlindungan lingkungan laut; dan pengelolaan sumber daya laut yang berkelanjutan termasuk upaya memerangi illegal, unreported and unregulated (IUU) fishing. Berlandaskan Joint Declaration on Maritime Cooperation yang diresmikan 2017 lalu, kerjasama ini ingin mencapai berbagai kepentingan keamanan bersama di domain maritim (Department of Foreign Affairs and Trade, 2020) dan pada Maret 2018, kedua negara menandatangani Maritime Cooperation Plan of Action (PoA).

Sementara kesepakatan sektoral ini memperkuat hubungan, CSP baru menyediakan kerangka kerja strategis yang lebih besar, bahkan menempatkan Australia pada level yang sama dengan Amerika Serikat dan China, kedua negara yang telah menjalin kemitraan strategis komprehensif dengan Indonesia masing-masing sejak 2013 dan 2015 (Mamahit, 2018) apabila dieksekusi hingga potensi maksimalnya. PoA kemaritiman Indo-Australia mencantumkan beberapa program yang melibatkan sejumlah instansi terkait di masing-masing pemerintahan selain kementerian luar negeri-nya. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dilibatkan pula pada beberapa program perikanan dan penguatan keamanan dari praktik illegal fishing yang telah dilaksanakan. Namun, mengingat semangat utama dari kerja sama ini adalah peningkatan keamanan maritim, pemberantasan kriminalitas di laut, peningkatan respon terhadap aktivitas polusi, serta pelatihan mitigasi bencana, hubungan antara TNI-AL dan ADF (Australian Defence Forces) menjadi poin krusial. Beberapa pelaksanaan program seperti pelatihan bersama terjadwal baik dengan awak kecil maupun besar, serangkaian kunjungan dan pertukaran personnel untuk transfer ilmu, hingga pertemuan diskusi dalam berbagai level telah membuka pintu menuju pencapaian potensi maksimum dari hubungan ini.

Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa hubungan bilateral Indonesia dan Australia diwarnai dinamika naik-turun, dengan insiden-insiden seperti penyadapan yang dilakukan pemerintah Australia dan eksekusi hukuman mati pada ketua kartel narkoba Bali 9 di meja hijau Indonesia (Rappler, 2017) sehingga kerangka kerja sama baru ini tidak dapat semata-mata menghapus sisa tensi dari sejarah ketidakakuran masa lalu, meskipun memberikan kerangka kerja bagi kedepannya. Sebagai salah satu elemen kunci dalam dinamika bilateral yang lebih luas, hubungan TNI-ADF secara historis tidak dapat dikatakan stabil, bahkan landasan yang semakin kokoh yang diberikan oleh Lombok Treaty dan Defence Cooperation Arrangement 2012 (diperbarui pada 2018) belum dapat sepenuhnya menjaga hubungan dari krisis. Kedua negara secara tradisional memandang satu sama lain dengan campuran antara ambivalensi dan ketakutan. Meskipun demikian, pembuat kebijakan dan analis selalu mendorong Indonesia dan Australia untuk bekerja sama berdasarkan kepentingan bersama terlepas dari perbedaan sejak Perang Dingin. Secara umum, perbedaan persepsi yang cukup signifikan dalam kemaritiman adalah bagaimana dalam 50 tahun terakhir, Australia dan Indonesia telah mengembangkan perspektif yang berbeda tentang prinsip-prinsip apa yang harus diterapkan dalam menggambar batas-batas dasar laut. Dari berbagai alasan, terdapat dua prinsip yang mendasari perbedaan persepsi ini yakni: (1) pendekatan ekuidistan atau “garis tengah” lebih menyukai garis horizontal yang ditarik di tengah antara garis dasar kedua negara bagian dan (2) sebaliknya, pendekatan “perpanjangan alami” memandang batas dasar laut sebagai perluasan ke tepi landas kontinen geomorfik (Strating, 2021).

Selain itu, kepentingan menjaga hubungan politik dengan aliansi masing-masing berujung pada pengambilan pendekatan dalam menyikapi beberapa isu kerap masih tampak kurang sejalan, misalnya pendekatan keduanya dalam isu Laut Cina Selatan (LCS). Meskipun keduanya memiliki kesamaan kepentingan dalam hal meredam militerisasi Cina atas LCS dan menjaga kebebasan navigasi, keduanya menggunakan strategi yang berbeda yakni Indonesia dengan pendekatan yang ASEAN-sentris dan Australia dengan pendekatan ANZUS-sentris (Philips & Hiariej, 2016). Jakarta sebagai negara non-penggugat dalam sengketa Laut Cina Selatan, lebih tertarik pada memastikan sentralitas peranan ASEAN sambil menjaga perairannya. Canberra, yang juga negara non-penggugat, melihat perilaku Cina melalui lensa aliansi AS-nya. Kedua belah pihak tertarik untuk mempertahankan tatanan berbasis aturan tetapi tidak setuju tentang aturan mana yang harus ditegakkan dan bagaimana Indonesia kurang mendukung operasi kebebasan navigasi (FONOPs) Australia, sementara Canberra melihat dukungan untuk FONOP dan proses Kode Etik ASEAN–China di Laut China Selatan sebagai bersifat komplementer sementara Jakarta terkadang menganggapnya saling eksklusif (Laksmana, 2018). Hal ini lagi-lagi menunjukkan bagaimana dalam pengambilan keputusan kebijakan luar negeri-nya, baik Indonesia maupun Australia masih mengutamakan kepentingan-nya yakni dengan mempertimbangkan bagaimana tindakan mereka berkorelasi dengan posisi aliansi dan hubungan strategis-nya dengan negara lain.

Terdapatnya kesenjangan kualitas sumber daya material maupun manusia antara Indonesia dan Australia juga menjadi faktor yang perlu dipertimbangkan sebagai penghambat dalam kelangsungan kerjasama kemaritiman antara keduanya, terlebih ketika dikombinasikan dengan tendensi prioritas kepentingan politik daripada hasil usaha keamanan sendiri. Tidak dapat dipungkiri bahwa TNI-AL masih memerlukan asistensi dalam upaya modernisasi sumber daya yang dimilikinya. Belanja pertahanan Indonesia sebagai persentase dari PDB berkisar sekitar 1 persen, jauh di bawah rata-rata regional sebesar 2,2 persen, melemahkan kemampuan Angkatan Laut dan membuat sulitnya mengoperasikan beberapa asetnya yang lebih besar (Rider, 2014 dalam Morris & Paoli, 2018). Banyak pula kapal TNI-AL yang berusia lebih dari 50 tahun dan memasuki akhir masa simpan operasionalnya, mengakibatkan kinerja operasional yang kurang maksimal. Masalah lain yang terkait denga pemeliharaan, persenjataan usang dan kekurangan suku cadang secara umum juga menghambat kemampuan TNI-AL (Jane’s, 2018). Sementara itu, meskipun tampak intensitasnya semakin meningkat, dari Australia sendiri masih tampak inkonsistensi dalam signifikannya hubungan pelatihan militer dengan Indonesia, terutama dalam sektor angkatan laut. Menurut kalkulasi Laksmana (2018) berdasarkan data tahunan militer Australia, pelatihan bilateral TNI-ADF hanya berkontribusi sebanyak 8% dari total pelatihan bilateral Australia selama periode 1997–2015. Di dalamnya, proporsi dari kerja sama dalam bidang kemaritiman menunjukkan tren yang semakin mengecil, terutama pasca munculnya agenda konter terorisme yang memberatkan fokus pada pelatihan special forces.

Seperti yang dielaborasi Laksmana (2018), bagi Indonesia, pelatihan dengan Australia dipandang dapat memenuhi kebutuhan pelatihan militer yang dibutuhkannya. Namun kerap kali kerja sama pertahanan dinilai secara pragmatis atau politis, yakni untuk menunjukkan kredibilitas internasional atau sebagai kesempatan untuk mendapatkan pasokan senjata. Setelah Timor Timur, misalnya, perwira senior TNI dilaporkan berusaha memulihkan hubungan dengan ADF sebagai “lencana penerimaan internasional” sehingga Amerika Serikat akan membatalkan pelatihan militer dan larangan senjatanya. Sementara itu, Australia, secara tradisional lebih menghargai kerja sama pertahanan dengan Indonesia dari manfaat non-pertahanannya alih-alih kemampuannya berusaha menghadapi tantangan bersama. Pertama, hubungan kerja sama keamanan ini bertindak sebagai tolak ukur kebijakan luar negeri Canberra dan komitmen-nya dalam menjaga hubungan bilateral dengan negara-negara di sekitarnya. Kedua, hubungan ini juga menjadi benchmark, memaknai hubungan pertahanan yang lebih kuat sebagai indikator utama kesehatan hubungan bilateral yang sehat. Seperti yang dicatat oleh seorang analis strategis Australia, “Selain retorika publik, yang paling penting adalah bagaimana pendidikan dan latihan militer memperkuat hubungan bilateral. Ketika TNI dan ADF semakin dekat, demikian pula kedua negara,” menunjukkan bagaimana keberlanjutan kerja sama keamanan berperan sebagai pendukung hubungan bilateral, terlepas dari apa yang menjadi isi program kerjasama tersebut.

Cetak biru kerjasama kemaritiman antara Indonesia dan Australia yang tertuang pada CSP, Joint Declaration on Maritime Coordination, dan Plan of Action yang disepakati keduanya sesungguhnya telah memberikan dasar yang solid bagi kerjasama keamanan bilateral yang komprehensif dalam sektor kemaritiman. Namun sayangnya, implementasi dan hasil dari program-program tersebut belum dapat membawa dampak yang signifikan mengingat masih terdapat beberapa permasalahan yang belum bisa ditangani oleh keduanya. Salah satu faktor mendasar adalah bagaimana hubungan keamanan antara Indonesia dan Australia belum stabil dikarenakan hubungan ini lebih dimaknai dan ditekankan sebagai ekstensi dari kepentingan politik alih-alih kepentingan keamanan. Dalam kerangka kerja sama yang berorientasi pada keamanan, pemaknaan ini menjadi krusial untuk memformulasikan target yang berhubungan dengan keamanan, misalnya bagaimana latihan bersama atau joint exercises diukur dalam agenda peningkatan kemampuan operasional masing-masing unit alih-alih kontribusinya pada pencapaian tujuan politik bilateral. Selama kedua negara belum dapat mencapai kesepakatan untuk memaknai koordinasi kemaritiman lebih sebagai agenda keamanan daripada politik, akan sulit untuk dapat mencapai potensi maksimum yang komprehensif dari rancangan kerjasama dalam Plan of Action tersebut.

REFERENSI

Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT). (2018). Plan of Action for the Implementation of the Joint Declaration on Maritime Cooperation Between the Government of Australia and the Government of the Republic Of Indonesia.

Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT). (2020). Plan of Action for the Indonesia - Australia Comprehensive Strategic Partnership (2020–2024).

Jane’s. (2018, Januari 23). Indonesia — Navy. Jane’s World Navies. Diakses pada 6 Juli, 2021, https://janes.ihs.com/Janes/Display/1322697

Laksmana, E. A. (2018). Reinforcing Indonesia — Australia defence relations: The case for maritime recalibration. Lowy Institute for International Policy.

Mamahit, D. A. (2018, November 15). Challenges and opportunities for Indonesian–Australian maritime cooperation. ASPI Strategist. Diakses pada 5 Juli, 2021, https://www.aspistrategist.org.au/challenges-and-opportunities-for-indonesian-australian-maritime-cooperation/

Morris, L. J., & Paoli, G. P. (2018). A Preliminary Assessment of Indonesia’s Maritime Security Threats and Capabilities. Cambridge: RAND.

Phillips, A., & Hiariej, E. (2016). Beyond the ‘Bandung divide’? Assessing the scope and limits of Australia–Indonesia security cooperation. Australian Journal of International Affairs, 70(4), 422–440.

Rappler. (2017, Januari 7). Panas-dingin hubungan Indonesia-Australia.

Rappler. Diakses pada 6 Juli, 2021, https://www.rappler.com/world/bahasa-indonesia/panas-dingin-hubungan-indonesia-australia

Strating, B. (2021, Juni 2). Troubled waters? Australia- Indonesia maritime boundary in the news. The Interpreter. Diakses pada 5 Juli, 2021, https://www.lowyinstitute.org/the-interpreter/troubled-waters-australia-indonesia-maritime-boundary-news

--

--