Halang Rintang Upaya Pemberantasan Korupsi dalam Struktur Institusi Gereja Katolik Vatikan

Laras Kineta
7 min readJan 16, 2022

--

Sumber: New York Times.

Esai ini dibuat sebagai penugasan ujian akhir semester mata kuliah Korupsi Politik.

Dalam sejarah panjangnya, isu korupsi dalam Gereja Katolik telah menjadi salah satu sumber kritik terbesar terhadapnya, begitu besar sehingga mengantarkan pada lahirnya ajaran baru (Kristen Protestan) sebagai bentuk protes. Isu korupsi masih membayangi Gereja hingga sekarang, tampak melalui mencuatnya skandal korupsi yang melibatkan Kardinal Angelo Becciu dalam tuduhan korupsi ratusan juta poundsterling dana Gereja dalam investasi properti. Menjadi menarik untuk memahami lebih lanjut skema dan budaya korupsi politik di Vatikan, yang meskipun berstatus sebagai negara dan hanya memiliki kurang dari seribu penduduk resmi, sesungguhnya berperan sebagai institusi pemerintahan dan mengelola dana umat Gereja Katolik global.

Sepanjang meniti jenjang karir dari kampung halamannya di Argentina hingga menjabat di Vatikan, citra yang digambarkan media akan Paus Francis adalah sebagai paus yang berasal dari golongan Liberal dalam politik Gereja. Paus Francis membawa beberapa agenda modernisasi yang mengundang perhatian, salah satunya melalui kebijakan reformasi finansial dalam rangka meruntuhkan citra korup dan tidak transparan yang disandang Gereja Katolik, yang meskipun tampak sebagai deklarasi kemauan politik untuk membawa Gereja menuju bebas korupsi, dalam pembahasan esai ini saya pahami sebagai agenda yang terlampau ambisius dan belum realistis. Pembahasan akan difokuskan pada tiga poin yakni bagaimana (1) keunikan bentuk dan landasan berfungsinya Gereja Katolik Vatikan menciptakan tantangan tersendiri, (2) mekanisme kebijakan reformasi finansial yang ambisius dalam menginkorporasikan modernisasi, serta (3) dikombinasikan citra liberal Paus Francis, menempatkannya pada posisi yang sulit dalam pemetaan politik gereja untuk merealisasikan cita-cita tersebut dan sebagai penunjang penjelasan perwujudan kesulitan-kesulitan tersebut, pembahasan menelisik skandal korupsi Kardinal Becciu yang kini masih dalam proses persidangan.

Keunikan yang sekaligus menjadi tantangan dalam memberantas korupsi di Vatikan adalah pemahaman bahwa urusan Vatikan tidak hanya sebagai urusan pengelolaan dana sebuah negara, namun terdapat komplikasi dalam perannya sebagai pemerintahan sebuah ajaran agama, berperan sebagai parameter kompas moral bagi pengikut agama Katolik. Premis mendasar yang diimani Paus Francis dan ajaran Gereja adalah bahwa sejatinya Gereja tidak sepantasnya menjadi pemilik kekayaan material, namun sudah selayaknya menjadi mekanisme redistribusi kekayaan bagi kemaslahatan tidak hanya umat Katolik, namun kemanusiaan di seluruh dunia sebagaimana ajaran Gereja Jemaat Perdana yang secara komunal menjual segala aset pribadi untuk kebutuhan umat. Gereja, dan semua yang mengemban jabatan dalam tatanan pemerintahannya, diharapkan menjadi pengabdi kemanusiaan dan tidak selayaknya memiliki harta duniawi atas namanya, sebagaimana tercantum dalam kaul kemiskinan sebagai syarat menjadi klerus.

Mengadopsi elaborasi Amundsen mengenai elemen-elemen dari korupsi politik antara lain melibatkan jajaran pembuat keputusan yang menyalahgunakan kekuasaan politik untuk keuntungan pribadi seperti status sosial, harta material, maupun preservasi kekuasaan politik, apa yang terjadi dalam badan Gereja Katolik bersesuaian dengan kriteria tersebut. Bahkan dapat dikatakan bahwa meskipun secara status hanyalah sebuah negara-kota dengan kurang dari seribu penduduk, konsekuensi global dari skema korupsi dalam Gereja menjadi detrimental mengingat sekitar satu miliar umat Katolik di seluruh penjuru dunia yang mengimani Paus sebagai manifestasi kepemimpinan Tuhan di dunia. Meskipun seakan menjadi rahasia umum, korupsi di lingkungan institusi Gereja Vatikan seringkali tenggelam dalam perdebatan mengenai agenda modernisasi ajaran-ajaran Gereja lain. Sebuah surat dari dua anggota auditor internasional yang dikirimkan pada Paus Francis dan kemudian pada jajaran kardinal pada pertemuan kardinal di Juni 2013 mencantumkan situasi darurat yang harus segera ditangani untuk menyelamatkan Vatikan dari kebangkrutan. Surat tersebut menyampaikan bahwa dalam Takhta Suci, Kegubernuran, Dana Pensiun, Dana Asuransi Kesehatan, maupun badan-badan otonom lain pengelola dana Gereja tidak memiliki transparansi dalam pembukuannya, tidak memiliki struktur pertanggungjawaban yang jelas, mekanisme pembuatan bajet menyeleweng dari aturan, dan tidak memiliki pedoman yang jelas terkait investasi modal finansial sehingga membuka banyak keleluasaan pada manajer investasi. Peluang korupsi menjadi sangat besar ketika terdapat begitu banyak lapisan birokrasi (semakin banyak pihak yang dapat terlibat), dan ketiadaan sistem pengawasan dan pertanggungjawaban akuntabilitas yang mumpuni mengeksaserbasi peluang korupsi di badan Gereja.

Selanjutnya, mekanisme yang diajukan oleh Paus Francis membutuhkan perombakan struktural yang perlu dukungan berbagai komponen aktor. Salah satu pertimbangan kardinal-kardinal dalam pemilihan Paus Francis adalah bahwa ia diyakini mampu mengeksekusi mandat untuk membersihkan Gereja Katolik dari deraan skandal korupsi Paus-Paus sebelumnya. Sejak awal kepemimpinannya, Paus Francis telah menunjukkan kemauan politik yang besar untuk memberantas korupsi dalam struktur Gereja, sebuah komponen krusial dalam pemberantasan korupsi karena ketika korupsi politik mewabah, berarti kemauan politik (political will) untuk mengatasinya lemah. Paus Francis bergerak cepat dalam agenda pembersihan birokrasi. Hanya lima hari berselang dari pemilihannya, ia membentuk tim yang berisi sembilan kardinal–dipilih berdasarkan citra energi dan rekam jejak perselisihan dengan Vatikan–dengan misi untuk ‘membersihkan’ birokrasi Gereja.

Pada 2015, Francis mempekerjakan Libero Milone, seorang mantan partner firma akuntansi Deloitte untuk memimpin audit besar-besaran di Vatikan. Namun, pada 2017, Milone mendapat tuduhan spionase dan penggelapan dana serta diancam hukuman agar mengundurkan diri dan memberhentikan proses audit. Sebelumnya, Milone menemukan bahwa ruangan yang digunakannya sebagai kantor di Vatikan disadap dan pernah dibobol pada 2015 akhir. Bekerja langsung di bawah Francis dengan akses penuh terhadap seluruh pembukuan Vatikan, ia mengklaim bahwa tuduhan ini adalah karena ia mulai mendekati rahasia penyelewengan pendanaan beberapa kardinal, terlebih ketika permintaan dokumen akan aset-aset Gereja olehnya berkali-kali mendapat penolakan.

Seraya berkomitmen membangun transparansi keuangan dan meminta pertanggungjawaban pejabat gereja dengan menindak tegas beberapa skandal korupsi, beberapa aturan lain seperti mewajibkan posisi manajerial senior di Vatikan, termasuk kardinal, untuk menandatangani pernyataan yang menyatakan bahwa mereka tidak pernah diselidiki atau dihukum karena kejahatan yang melibatkan korupsi, penipuan, eksploitasi anak di bawah umur, perdagangan manusia, terorisme, pencucian uang atau penghindaran pajak yang harus diperbarui setiap dua tahun. Dekrit baru pada April 2021 juga memaksa pejabat Vatikan, termasuk kardinal, untuk mengungkapan keadaan keuangan secara penuh pada publik dan menolak gratifikasi apapun yang bernilai lebih dari sekitar USD 50. Paus Francis juga melarang staf senior Vatikan menempatkan uang mereka di suaka pajak atau perusahaan yang berbasis di negara-negara suaka pajak, berinvestasi dalam properti yang dibeli dengan dana dari kegiatan ilegal, dan memiliki saham atau kepentingan di perusahaan yang kebijakannya bertentangan dengan ajaran sosial gereja, setelah sebelumnya memerintahkan sekretariat negara–badan administratif Takhta Suci–untuk mentransfer seluruh kepemilikan keuangan dan aset real estatnya ke Administrasi Warisan Takhta Apostolik yang mengelola keuangan Vatikan.

Dari sistem-sistem baru yang diimplementasikannya, tampak bagaimana mekanisme yang diajukan Paus Francis membutuhkan rombakan dan restrukturisasi sistem birokrasi yang drastis dan menyeluruh, menggunakan metode-metode yang kerap diimplementasikan dalam pemerintahan modern seperti membuat deklarasi kekayaan yang dimiliki oleh pejabat publik dalam nama akuntabilitas, bahkan strategi yang kurang umum seperti mengundang aktor dari kalangan swasta untuk menjadi auditor seperti peran Milone. Audit menyeluruh yang urgen untuk memahami kantong-kantong birokrasi mana yang menjadi ladang korupsi dalam sistem Gereja terbukti krusial ketika berkaca pada skema skandal kompleks korupsi yang menempatkan Kardinal Becciu, kepala kesekretariatan negara Vatikan yang mengurus dana Peter’s Pence atau donasi umat gereja yang dimaksudkan untuk kegiatan-kegiatan amal, tampak bahwa kasus yang sedang dalam masa persidangan ini adalah sebuah intrikasi kompleks khas korupsi di masa modern ini. Intensi awalnya Gereja adalah untuk berinvestasi dengan membeli sejumlah properti di Harrods, sebuah kawasan elit di London senilai sekitar €350 juta untuk membangun 49 unit apartemen mewah. Namun, reportase investigasi menyatakan bahwa transaksi ini menjadi kerugian kerugian €100 juta bagi Vatikan (sebagian besar merupakan sumbangan dari umat beriman yang disisihkan untuk amal), sementara serangkaian broker dan perantara yang terlibat dalam manipulasi transaksi ini mengantongi puluhan juta poundsterling. Mekanisme transformasional ini memaksa Gereja untuk membuka diri pada banyak perubahan, suatu hal yang masih menjadi perdebatan besar dalam internal sendiri–apakah Gereja yang membangun agenda dunia, atau apakah Gereja yang harus menyesuaikan diri dengan perkembangan dunia.

Paus Francis berada pada golongan yang kedua, bahwa Gereja perlu menyesuaikan diri dengan perkembangan dunia. Hal ini membawa pada pembahasan terakhir, yakni Paus Francis dan bagaimana ia memandang Gereja dan bertindak sebagai Paus membuatnya sosok Paus yang mengundang menciptakan polarisasi antara kelompok liberal (ekstrovert) dan konservatif (introvert) dalam Gereja. Kardinal Bergoglio dari Argentina (Paus pertama yang tidak berasal dari tanah Eropa), dipilih sebagai ‘orang luar’ yang diharapkan dapat memilah dan mengatasi birokrasi sklerotik dalam Gereja. Douthat mengidentifikasi beberapa hal yang membedakannya dari pendahulunya yakni berasal dari Argentina, Francis memiliki pandangan yang berbeda dalam memahami demokrasi dan berpengalaman menghadapi kontestasi kekuasaan antara Gereja, negara, dan ajaran Katolik yang mengglobal. Ia juga mengadopsi gaya kepemimpinan yang lebih populis khas klerik Jesuit dan mendapat dukungan kuat dari kardinal-kardinal golongan liberal di Gereja. Selain ambisi reformasi finansial, pandangan Francis dalam isu seperti pemberian komuni pada umat yang bercerai, isu iklim, ajaran Katolik Latin, dan pernyataan terkenalnya ketika diminta pandangannya akan homoseksualitas (“Who am I to judge?”), telah membuatnya memiliki beberapa oposisi politik dari kelompok konservatif di Gereja seperti Uskup Agung AS, Raymond Burke dan dianggap membawa ‘asap setan’ ke Gereja oleh Uskup Agung Kazakhstan. Francis juga menyadari bahwa pesan-pesannya dapat menjangkau audiens lebih luas termasuk dengan menggunakan media sosial, hingga menjadi figur kedua pimpinan politik dengan jumlah pengikut terbanyak di Twitter setelah Obama, serta kerap mengundang perhatian warganet dalam beberapa pernyataannya populer karena cenderung bernuansa pandangan liberal. Dari pembahasan esai ini, dapat dipahami bahwa untuk memberantas korupsi di Gereja, membutuhkan jauh lebih banyak hal daripada sebatas keinginan politik dan kesediaan untuk mengadopsi mekanisme-mekanisme finansial pemerintahan modern pada institusi kuno berusia dua millenia, apalagi mempertimbangkan bahwa pihak yang menunjukkan keinginan politik tersebut berada pada posisi politik yang mendapat resistensi dari kelompok konservatif dalam Gereja Katolik yang telah mendominasi institusi tersebut sejak jauh lebih lama.

Kepustakaan

Artikel Daring (dengan Penulis)

Brown, A., ‘The war against Pope Francis’, The Guardian (daring), 27 Oktober 2017, https://www.theguardian.com/news/2017/oct/27/the-war-against-pope-francis, diakses 10 Desember 2021

Kington, T., ‘Pope Francis’s anti-sleaze auditor Libero Milone ‘forced out’ of Vatican role’, The Times (daring), 24 Juni 2017, https://www.thetimes.co.uk/article/pope-franciss-anti-sleaze-auditor-libero-milone-forced-out-of-vatican-role-zh0t6ttwg, diakses 12 Desember 2021.

Posner, G., ‘The Pope’s Corruption Problems’, Forbes (daring), 4 Oktober 2021, https://www.forbes.com/sites/magteam/2021/10/03/the-popes-corruption-problems/?sh=5e47012154c9, diakses 11 Desember 2021.

Povoledo, E., ‘Pope Francis Issues Law to Combat Corruption in the Vatican’, The New York Times (daring), 29 April 2021, https://www.nytimes.com/2021/04/29/world/europe/pope-francis-vatican-corruption-disclosure.html, diakses 11 Desember 2021.

Artikel dalam Jurnal

Narbona, J., ‘Digital leadership, Twitter and Pope Francis’, Church, Communication and Culture, vol. 1, no. 1, April 2016

Buku

Laguerre, M.S., Network Governance of Global Religions: Jerusalem, Rome, and Mecca, Routledge, New York, 2013

Nuzzi, G., Merchants in the Temple, St Martin’s Press, New York, 2015

Pell, G., Prison Journal Vol 3, Ignatius Press, San Francisco, 2020

Terbitan Serial

Amundsen, I., Political Corruption, U4 Issue, no. 6, Bergen, 2006.

Majalah

Douthat, R., ‘Will Pope Francis Break the Church?’, The Atlantic, Mei 2015.

Video Daring

Financial Times, Can the Vatican reform its finances? | FT Film [video], https://www.youtube.com/watch?v=9027XCJZVC0, diakses 8 Desember 2021.

--

--