Distribusi Vaksin Covid-19: Monopoli Korporasi dan Disparitas Kapasitas Negara Kaya-Berkembang dalam Tata Kelola Global

Laras Kineta
6 min readJan 16, 2022

--

Sumber: VOA Indonesia

Esai ini dibuat sebagai penugasan ujian akhir semester mata kuliah Ekonomi Politik dan Globalisasi.

“It is simply shameful that a handful of wealthy governments continue to monopolize vaccine supply while consistently opposing attempts to free up intellectual property rights that would enable other States to fulfil their obligations to protect their people. The UK, Norway, Switzerland and the EU — including Germany — are still selfishly blocking the TRIPS waiver while other countries continue to waste time and prevaricate. Pharma companies have also behaved shamefully — pushing up prices, monopolizing intellectual property, blocking technology transfers, and lobbying aggressively against measures that would expand global manufacturing to line their pockets,”

—Secretary General of Amnesty International Agnès Callamard, October 2 2021

Seraya berbagai vaksin mulai mendapat sertifikasi dinyatakan aman untuk penggunaan masal, hal ini seakan menjadi cahaya di ujung terowongan dalam situasi krisis pandemi Covid-19. Namun, bersamanya muncul pula berbagai problematika yang perlu dipahami dan ditangani mulai dari produksi, pemasaran, dan distribusi vaksin, dengan pertimbangan urgensi untuk memvaksinasi seluruh penduduk dunia. Dingwerth dan Pattberg (2006) memahami tata kelola global sebagai (salah satunya) program politik, sebagai sebuah strategi politik untuk mengatasi ancaman atau permasalahan global. Dalam konteks realisasi target vaksin untuk mencapai herd immunity dan membebaskan dunia dari belenggu pandemi, latar belakang kesenjangan sosial yang semakin melebar membawa kita pada urgensi untuk memahami kesehatan publik bukan sebagai komoditas privatisasi, namun sebagai common goods sebagai cara untuk mewujudkan prinsip-prinsip perlindungan hak asasi manusia, dan, pada saat yang sama, berfungsi sebagai emansipasi politik, ekonomi, dan sosial (Borges dan Dos Santos, 2021). Memahami vaksin sebagai common goods berarti memahami keterlibatan banyak aktor dalam praharanya, aktor negara (atau representatifnya) yang sepantasnya bertindak untuk kemaslahatan konstituennya maupun aktor industri farmasi sebagai produsen vaksin dengan kepentingan keuntungan ekonomi.

Beberapa tantangan yang menghalangi percepatan proses distribusi vaksin, terutama ke negara-negara berkembang dan least developed countries (LDCs), menjadi gambaran nyata kritik atas tata kelola global saat ini ketika membicarakan common goods, yakni isu mengenai bagaimana memenuhi kepentingan kolektif dan manajemen sumber daya jangka panjang (Goldin, 2015). Terlepas dari asal sumber daya yang membiayai tahap pengembangan dan produksi vaksin, sumber daya ini harus dipindahkan ke kategori common goods sehingga terlindung dari model pasar eksklusif. Lebih jauh lagi, hal ini juga secara tersirat berarti bahwa akses ke vaksin dipahami sebagai hak asasi manusia yang mendasar (Borges dan Dos Santos, 2021). Tulisan ini selanjutnya ingin menyoroti beberapa hambatan program vaksinasi global yakni (a) isu monopoli stok vaksin yang berakar dari isu disparitas kapasitas riset pengembangan dan produksi vaksin Covid-19 antara negara maju dan berkembang, (b) peranan (atau absennya peranan) regulasi dari World Trade Organization dan © bagaimana isu ini termanifestasi dalam tantangan program-program kolektif dengan semangat kesetaraan akses vaksin seperti Covax.

Dalam studi rinci tentang arus perdagangan dan kepemilikan perusahaan, industri vaksin telah digambarkan sebagai “klub produksi vaksin” (Evenett et al., 2021 dalam Lobo, 2021), karena sangat terkonsentrasi di sejumlah kecil perusahaan multinasional dan pabrik yang mayoritas berlokasi di negara maju (Uni Eropa dan Amerika Serikat) (Lobo, 2021). Terkonsentrasi pada hanya 13 negara, yang tidak hanya sebagai kantor pusat perusahaan produsen vaksin, tetapi juga dimana 91% (783 dari 857 anak perusahaan di seluruh dunia) dari anak perusahaan perusahaan ini berada (Evenett et al., 2021, dalam Lobo, 2021). Ketika WHO disarankan untuk membangun access pool teknologi yang dibutuhkan untuk membantu negara-negara berkembang membuat vaksin Covid-19 mandiri, tidak ada produsen vaksin coronavirus yang setuju untuk berpartisipasi dalam program tersebut dan Albert Bourla, kepala eksekutif Pfizer, tahun lalu menyebut konsep itu “omong kosong,” (Rowland et. al, 2021). Reportase Oxfam (2021) menyoroti bagaimana biaya vaksinasi dunia terhadap Covid-19 setidaknya bisa lima kali lebih murah jika perusahaan farmasi tidak mengeksploitasi profit dari monopoli mereka atas vaksin Covid-19. Dari potensi 10 hingga 14 miliar dosis vaksin yang diharapkan industri untuk diproduksi pada tahun 2021–kisaran yang bergantung pada proyeksi optimis–lebih dari dua pertiga telah diklaim oleh negara-negara kaya dan berpenghasilan menengah, menurut laporan bersama yang dirilis oleh industri obat dan Coalition for Epidemic Preparedness Innovations pada Maret 2021 dan dosis yang tersisa akan mencakup sedikitnya 28 persen dari populasi 92 negara paling miskin di dunia (Rowland et. al, 2021).

Selain itu, isu mengenai monopoli hak paten intelektual vaksin juga menjadi tantangan tersendiri. Pada akhir 2020, India dan Afrika Selatan mengajukan proposal besar untuk mengabaikan perlindungan properti intelektual termasuk paten, hak cipta, dan rahasia dagang pada semua komoditas medis yang digunakan dalam penanganan Covid, khususnya vaksin (Beattie, 2021). Setahun setelahnya, negosiasi masih berjalan sirkuler dan cenderung buntu. Pemerintah negara-negara kaya termasuk Uni Eropa, Inggris, dan Swiss menentang, sementara AS mendukung namun tanpa memberikan perincian kesepakatan apa yang mungkin diterimanya (Beattie, 2021). Sisi perusahaan farmasi telah menolak permintaan berbagi teknologi milik mereka secara lebih bebas dengan perusahaan di negara berkembang, berargumen bahwa inovasi serta kualitas dan keamanan vaksin bergantung pada pemeliharaan hak kekayaan intelektual eksklusif. Perusahaan-perusahaan tersebut melobi administrasi Biden dan anggota WTO lainnya demi mempertahankan proyeksi keuntungan yang bernilai miliaran USD (Rowland et. al, 2021). Upaya-upaya pemberian dosis ke negara-negara berkembang yang banyak digunakan perusahaan-perusahaan ini sebagai kompensasi mengabaikan permasalahan inti dari isu ini yakni kebutuhan akan produksi lebih banyak dosis. Hal ini juga tampak sebagai sikap menutup mata pada suara di lapangan, ketika badan-badan riset dari negara berkembang seperti Bangladesh, Pakistan, dan negara-negara Afrika yang mencoba menghubungi produsen-produsen besar untuk kerjasama demi mempercepat proses sama sekali tidak digubris (Rowland et. al, 2021).

Program koalisi antar pemerintahan yang bertujuan untuk mereduksi kesenjangan distribusi vaksin seperti COVAX, misalnya, menjadi kurang efektif ketika kita memahami beberapa tantangan seperti perkara sumber pendanaan yang bergantung pada donasi dan masih harus menghadapi isu monopoli dan perusahaan farmasi yang menempatkan profit sebagai kepentingan utama mereka. Bergantung pada donasi negara-negara kaya, sumber pendanaan program-program kolektif ini hanya mendapat remahan dari alokasi bajet negara kaya, setelah menempatkan diri mereka sendiri pada antrian terdepan distribusi vaksin. Dikombinasikan dengan bagaimana negara-negara berkembang yang tidak punya pilihan lain selain membeli dosis dari perusahaan-perusahaan yang berbasis di negara kaya, limitasi pendanaan, monopoli ilmu pengetahuan dan sumber daya yang dibutuhkan untuk pengembangan vaksin, serta penarikan biaya yang jauh lebih tinggi dari biaya produksinya telah melumpuhkan kemampuan program COVAX untuk pemerataan vaksinasi dengan sedemikian rupa.

Dalam analisis teknik produksi untuk vaksin jenis mRNA seperti yang diproduksi oleh Pfizer dan Moderna–yang dikembangkan dengan bantuan pendanaan publik sebesar USD 8,3 miliar–menunjukkan bahwa vaksin ini dibuat dengan biaya produksi sekitar USD 1,2 per dosis, namun COVAX telah membayar rata-rata hampir lima kali lipatnya. People’s Vaccine Alliance mengestimasi bahwa biaya yang dikeluarkan oleh COVAX sejauh ini (Juli 2021) bisa saja cukup untuk memvaksinasi seluruh populasi masyarakat di negara menengah-rendah apabila terdapat suplai yang mencukupi. Namun, karena isu-isu tersebut, COVAX diperkirakan hanya akan mampu memvaksinasi 23% hingga akhir tahun 2021 (Oxfam, 2021). Dari pembahasan di atas, dapat dikatakan bahwa tata kelola global saat ini masih memiliki perdebatan yang perlu diatasi mengenai manajemen common goods, berkaca pada penanganan pandemi khususnya vaksin sebagai common goods. Ketimpangan sumber daya antara negara kaya dengan berkembang yang membuka peluang monopoli vaksin oleh korporasi adidaya industri farmasi dan lemahnya kapasitas institusi representasi tata kelola global, dalam hal ini WTO, menghambat program-program penanganan krisis pandemi yang sejatinya adalah kepentingan kolektif global.

REFERENSI

Amnesty International. (2021, October 2). COVID-19: Time for countries blocking TRIPS waiver to support lifting of restrictions. Amnesty International. Retrieved December 14, 2021, from https://www.amnesty.org/en/latest/news/2021/10/covid-19-time-for-countries-blocking-trips-waiver-to-support-lifting-of-restrictions-2/

Beattie, A. (2021, November 25). Talks to waive patents on Covid vaccines are ‘stuck’, WTO head warns. Financial Times. Retrieved December 14, 2021, from https://www.ft.com/content/b9a66140-f031-4ed6-9048-f6029832c511

Borges, G. S., & Dos Santos, B. F. (2021). COVID-19 vaccine as a common good. Journal of Global Health, 11.

Dingwerth, K., & Pattberg, P. (2006). Global governance as a perspective on world politics. Global Governance, 12, 185.

Lobo, F. (2021). Restructuring the global vaccine industry. South Centre Research Paper, 134.

Rowland, C., Rauhala, & Berger. (2021, March 20). Global vaccine supply shortages challenge drug company monopoly practices. The Washington Post. Retrieved December 14, 2021, from https://www.washingtonpost.com/business/2021/03/20/covid-vaccine-global-shortages/

Vaccine monopolies make cost of vaccinating the world against COVID at least 5 times more expensive than it could be. (2021, July 29). OXFAM International. Retrieved December 13, 2021, from https://www.oxfam.org/en/press-releases/vaccine-monopolies-make-cost-vaccinating-world-against-covid-least-5-times-more

World Economic Forum. (2015). Rethinking Global Governance | Ian Goldin. [video] Available at: <https://www.youtube.com/watch?v=XlGvzoEDCWc> [Accessed 13 December 2021].

--

--