Diskursus Genosida dalam Pembunuhan dan Penghilangan
Masyarakat Adat Kanada

Laras Kineta
7 min readJan 16, 2022

--

Sumber: The Conversation.

Esai ini dibuat sebagai penugasan ujian akhir semester mata kuliah Kekerasan dalam Politik Dunia.

Tuntutan untuk penyelidikan lebih lanjut akan kekerasan yang dialami perempuan kelompok adat di Kanada telah muncul sejak cukup lama, namun baru dieksekusi melalui National Inquiry into Murdered and Missing Indigenous Women and Girls yang dibentuk pada 2015 lalu. Pasca reportase final National Inquiry into MMIWG (2019), PM Trudeau mengatakan pemerintahannya menerima bahwa pembunuhan dan penghilangan perempuan adat di seluruh Kanada dalam beberapa dekade terakhir merupakan tindakan “genosida,” (Tunney, 2019). Penyelidikan ini mengumpulkan kisah dari 1.484 kerabat dan penyintas, serta menginisiasi reviu dokumen forensik dari catatan polisi untuk mengidentifikasi celah dan isu dalam respon penegak hukum. Secara resmi, Royal Canadian Mounted Police mengidentifikasi 1.017 pembunuhan perempuan adat antara tahun 1990- 2012 — lima kali lebih tinggi daripada wanita non-adat — serta 164 penghilangan. Namun, laporan tersebut dan klaim kelompok-kelompok advokasi meyakini bahwa angka aslinya jauh di atas itu (Ling, 2019). ‘Genosida’ atas masyarakat adat Kanada, khususnya perempuan, menjadi pembahasan yang cukup kompleks ketika eksekusi kekerasan ini tidak hanya melalui aksi pembunuhan massal, namun juga berakar dari proses pembangunan Kanada sebagai sebuah negara hasil kolonialisasi yang menempatkan masyarakat adat dalam represi dan kerentanan sosial berlapis.

Untuk memahami bagaimana diskursus genosida dalam terjadinya kekerasan terhadap kelompok penduduk adat khususnya perempuan di Kanada dan kontekstualisasinya dengan relasi sejarah kolonialisme dengan citra yang dibangun Kanada kontemporer, tulisan ini menggunakan dua pendekatan. Pertama, politics of naming, untuk menganalisis bagaimana memahami kekerasan terhadap masyarakat adat khususnya perempuan adat di Kanada sebagai genosida berimplikasi dalam sosial-kultural masyarakat Kanada baik pada proses nation building dari kolonialisme hingga bagaimana kemudian masyarakat Kanada kontemporer menyikapinya. Kedua, dehistoricization, melalui rekonstruksi narasi dan marjinalisasi sistemik menjelaskan bagaimana pemerintah Kanada memperlakukan dan menindaklanjuti (atau tidak menindaklanjuti) informasi kekerasan-kekerasan yang terjadi pada kelompok masyarakat adat berperan dalam proses dehistorisasi. Pembahasan ini memantik diskursus mengenai konsepsi genosida secara lebih jauh dari intensi pemusnahan kelompok tertentu melalui blatant massacre and slaughters, namun juga bagaimana keterlibatan menciptakan struktur pemerintah dan masyarakat yang mendorong terjadinya kekerasan (pembunuhan yang meskipun massal, bukan merupakan sebuah aksi terorganisir oleh aparat pemerintah atau kelompok yang didukung pemerintah atau slow-killing) adalah pula terlibat dalam aksi genosida.

Identitas multikulturalisme telah menjadi salah satu jargon pemerintah Kanada dalam mendefinisikan identitas bangsa, melalui serangkaian program dan regulasi administratif seperti Canadian Multiculturalism Act (1985) yang bertujuan untuk mempromosikan masyarakat yang ‘kohesif’, diikuti dengan pembangunan berbagai program lainnya sepanjang akhir 1990-an yang berlanjut hingga saat ini. Meskipun berbagai publikasi menyatakan bahwa masyarakat Kanada secara umum suportif dengan prinsip masyarakat multikultural, hal ini tidak selalu dibarengi dengan praktik yang mendukung (Canadian Library of Parliament, 2009). Selebihnya, masyarakat Kanada menyukai gagasan tentang Kanada sebagai negara “baik” yang penuh dengan orang-orang “baik”, meyakini doktrin bahwa mereka tidak rasis seperti Amerika, atau xenofobik seperti Eropa perihal isu imigran, dan bahwa Kanada adalah negara multikultural, toleran, cinta damai, dan sopan (Sutton, 2021) sehingga sepantasnya menyandang predikat promotor HAM dalam panggung internasional.

Namun, pengalaman penduduk asli tanah Kanada berkata lain. Kanada adalah negara hasil settler colonialism. Negara-negara Eropa, diikuti oleh pemerintah baru “Kanada”, memberlakukan hukum, institusi, dan budayanya sendiri pada penduduk asli saat menduduki tanah mereka. Sikap kolonial rasis membenarkan kebijakan asimilasi Kanada, yang berusaha menghilangkan First Nations, Inuit, dan Orang-Orang Métis hingga ke akar-akar kebudayaannya dalam agenda membangun ‘Kanada’ yang dicita-citakan (MMIWG Report 2019)–dominan kebudayaan kulit putih Eropa. Keberadaan negara Kanada telah menjadi penyebab penderitaan selama berabad-abad yang selayaknya dikatakan dan diperlakukan sebagai aksi genosida. Apa yang terjadi di Kanada adalah tindakan kekerasan dan niat untuk menghancurkan yang bersifat struktural, sistemik, dan melintasi berbagai institusi pemerintahan dan pimpinan politik (Fontaine, 2021). Laporan National Inquiry on MMIWG (2019) meyakini bahwa sejatinya, genosida adalah akar penyebab dari kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan dan anak perempuan adat. Hal ini tidak hanya karena tindakan genosida yang pernah dan masih dilakukan atas mereka, tetapi juga karena bagaimana komplikasi kerentanan sosial yang menyebabkan penghilangan dan kematian mereka telah menembus seluruh komponen fabrikasi masyarakat Kanada hingga saat ini.

Meskipun Trudeau telah mengakuinya sebagai genosida, diskursus yang mengelilinginya masih menunjukkan ketidaknyamanan masyarakat untuk menggunakan istilah tersebut, apalagi untuk mengakui pertanggungjawaban atas kejahatan tersebut. Bagi sebagian besar masyarakat Kanada, menjadi sulit memahami suatu konsep dimana Kanada menjadi pelaku genosida, karena hal ini bertolak belakang dengan konsepsi umum di masyarakat dan dipromosikan institusi pemerintah tentang Kanada sebagai promotor HAM baik dalam ranah domestik maupun internasional. Kurikulum sejarah Kanada hanya membahas sedikit atau bahkan tidak sama sekali mengenai bagaimana proses pembangunan bangsa Kanada melibatkan sejarah kelam perilaku yang dapat dikategorikan sebagai aksi genosida seperti menimbulkan kerugian mental maupun fisik (i.e. kekerasan fisik dan seksual yang terjadi di sekolah residensial), proses menciptakan kondisi hidup yang dirancang untuk membahayakan fisik (i.e. menciptakan situasi kelaparan massal dengan mengurangi stok pangan, mempersulit akses ke air bersih dan fasilitas kesehatan), serta praktik pemaksaan sterilisasi dan pengambilan paksa anak-anak dari keluarga dan komunitasnya (Fontaine, 2021).

Penerimaan multikulturalisme yang hanya sebatas teori dan keengganan mayoritas masyarakat Kanada untuk mempraktikkan perilaku yang mendukung multikulturalisme terkulminasi dalam diskursus pasca publikasi laporan final National Inquiry into MMIWG dan memuncak pasca penemuan ribuan pemakaman anak-anak di bawah bangunan-bangunan bekas sekolah residensial. Alih-alih pengakuan publik, diskursus yang muncul justru memperkarakan apa yang sebenarnya dikatakan sebagai genosida dengan berkaca pada peristiwa di Auschwitz dan Rwanda. Sumber berita terkemuka di Kanada menenggelamkan kisah kekerasan terhadap perempuan dengan perdebatan tentang satu kata, menunjukkan bahwa mereka lebih tertarik untuk melindungi masyarakat awam dari kebenaran yang mengusik kenyamanan daripada menggunakan kekuatan mereka untuk melindungi yang paling rentan dari kekerasan dan kematian (Millar, 2019) dan justru menggunakan pengaruh publiknya untuk menghindarkan pemerintah Kanada dari akuntabilitas.

Kisah kekerasan terhadap perempuan adat sebagai konsekuensi dari struktur dan kebijakan kolonial mengarah pada peningkatan tingkat kekerasan, kematian, dan bunuh diri saat ini dalam populasi adat. Marginalisasi terhadap perempuan adat berdampak pada krisis data dan dokumentasi akan kekerasan yang dialami kelompok perempuan adat. Kontrol informasi dan dehistorisasi dilakukan dengan menginvalidasi realita dan pengalaman atas kekerasan yang terjadi, menganggapnya sebagai tidak layak akan penindaklanjutan, tidak berhak atas keadilan. Lee dan Johnstone (2021) menganalisis bagaimana permintaan maaf publik sebagai pernyataan resmi otoritas Kanada, meskipun mengakui perlakuan buruk sistematis yang memproduksi trauma historis di kelompok masyarakat adat, dampak traumatis mereka secara diskursif dibangun menjadi paradoks yang di satu sisi memandang mereka sebagai korban, namun di sisi lain mengkonstruksi mereka sebagai identitas minoritas dan melegitimasi perlakuan othering. Meskipun demikian, mereka menemukan bahwa dalam permintaan maaf publik yang dianalisis, terdapat upaya pemisahan yang jelas serta penciptaan jarak temporal antara otoritas pemerintah masa lalu yang bersalah dengan pemerintah saat ini, sehingga membangun konstruksi Kanada sebagai subjek yang baik–bangsa kulit putih yang baik hati, adil dan liberal. Hal ini dilakukan dengan penggunaan frasa seperti ‘a sad chapter in our history,’ atau secara diskursif dimaknai sebagai produk sekunder dari kebijakan publik yang implementasinya buruk dalam membahasakan kekerasan yang terjadi.

Otoritas Kanada menunggangi narasi sebagai subjek yang simpatik, menyesal, menyadari, serta mengakui menjadi pelaku kekerasan tersebut, namun tidak meminta maaf atas asumsi dan nilai yang mendasari kekerasan yakni pola pikir dominasi khas kolonial yang menjadikan masyarakat penduduk asli sebagai penduduk kelas dua. Permintaan maaf publik menjadi alat yang digunakan untuk dominasi dan kontrol atas narasi yang beredar di masyarakat, untuk meredam konflik domestik dengan konsep ‘merasialisasikan kelompok lain’ dan untuk mengklaim legitimasi pemerintahan pascakolonial negara White Settler (Sharma, 2020), sambil menghapus kesalahan dengan menyembunyikan perbedaan narasi dengan pengalaman kelompok adat serta essentially, menuliskan kembali sejarah (Lee dan Johnstone, 2021).

Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penggunaan kata ‘genosida’ untuk mendefinisikan kekerasan struktural dan berlapis yang dilakukan otoritas Kanada kepada kelompok penduduk adat yang telah dahulu menempati tanah Kanada, meskipun sejatinya adalah bagian dari proses nation building Kanada sebagai negara settler colonialism, menjadi sulit diterima masyarakat umum Kanada karena berkontradiksi dengan persepsi Kanada sebagai negara promotor HAM, serta berimplikasi pada pertanggungjawaban sebagaimana mereka mengecam apa yang terjadi di Auschwitz. Pengalaman dan pengetahuan kelompok masyarakat adat akan kekerasan yang mereka alami menjadi naratif yang diabaikan otoritas Kanada melalui proses dehistorisasi dan dengan membangun kesan terdapatnya selisih waktu yang jauh antara Kanada yang menjadi perpetrator genosida dengan Kanada masa kini.

Referensi

Fakhri, M. (2019, July 3). Canada Avoids Indigenous Reconciliation and the UN Declaration on the Rights of Indigenous Peoples. EJIL: Talk! Retrieved December 23, 2021, from https://www.ejiltalk.org/canada-avoids-indigenous-reconciliation-and-the-un-declaration-on-the-rights-of-indigenous-peoples/

Lafontaine, F. (2021, June 11). How Canada committed genocide against Indigenous Peoples, explained by the lawyer central to the determination. The Conversation. Retrieved December 23, 2021, from https://theconversation.com/how-canada-committed-genocide-against-indigenous-peoples-explained-by-the-lawyer-central-to-the-determination-162582

Lee, E., & Johnstone, M. (2021). Resisting a postcolonial construction of historical trauma and healing: Critical discourse analysis of public apologies in Canada. Critical Sociology, 08969205211052326.

Ling, J. (2019). Canada Reckons With Genocide. Retrieved 20 November 2021, from https://foreignpolicy.com/2019/06/24/canada-reckons-with-genocide-inquiry-missing-murdered-indigenous-women-girls/

Millar, E. (2019, June 10). The week the media failed Canada — The Discourse. The Discourse. Retrieved December 23, 2021, from https://thediscourse.ca/media/media-coverage-fail

National Inquiry into Missing and Murdered Indigenous Women and Girls. (2019). A Legal Analysis of Genocide: Supplementary Report of the National Inquiry into Missing and Murdered Indigenous Women and Girls.

National Inquiry into Missing and Murdered Indigenous Women and Girls. (2019). Reclaiming Power and Place: Executive Summary of The Final Report National Inquiry into Missing and Murdered Indigenous Women and Girls.

Parliament of Canada. (2021). Canadian Multiculturalism. Ottawa: Library of Parliament.

Sharma N (2020) Home Rule: National Sovereignty and the Separation of Natives and Migrants. Durham: Duke University Press.

Tunney, C. (2019). Trudeau says deaths and disappearances of Indigenous women and girls amount to ‘genocide’ | CBC News. Retrieved 20 November 2021, from https://www.cbc.ca/news/politics/trudeau-mmiwg-genocide-1.5161681

--

--