Dinamika Cina sebagai Pemrakarsa Energi Terbarukan Global

Laras Kineta
8 min readJan 16, 2022

--

Sumber: Council of Foreign Relations

Esai ini dibuat untuk pemenuhan penugasan ujian akhir semester mata kuliah Hubungan Internasional Cina.

Bahwa dunia diselimuti bayangan krisis iklim dan akan menghadapi konsekuensi fatal apabila tidak ada tindakan signifikan yang dapat mengurangi laju kenaikan temperatur global adalah ancaman yang nyata bagi masyarakat global tanpa terkecuali. Per esai ini ditulis, World Climate Clock yang menghitung mundur tenggat waktu dunia harus mengurangi emisi karbonnya hingga nol menunjukkan bahwa bumi hanya memiliki tujuh tahun dan sepuluh hari, atau malapetaka alam yang akan menyambut peradaban modern. Melihat ini, solidaritas internasional mendorong upaya-upaya menggantikan penggunaan sumber energi non terbarukan ke energi-energi alternatif. Mengingat besarnya peranan Cina dalam kontribusi emisi karbon dan skala perindustriannya yang masif dan masih secara umum bergantung pada energi tidak terbarukan (batubara, fosil, dll), diskusi yang ingin diangkat dalam esai ini adalah mengenai isu perkembangan penggunaan energi terbarukan (renewable energy) Cina dalam beberapa tahun belakangan. Terkait dengan perkembangan sumber daya energi global terbarukan yang krusial bagi kelangsungan dunia, diyakini bahwa terdapat dilema politik dalam pencapaian agenda penguatan kapasitas energi terbarukan Cina dalam tatanan politik internasional, baik dengan negara-negara berkembang maupun di antara sesama negara maju–terutama dengan sempat absennya Amerika Serikat dari perjuangan internasional melawan perubahan iklim. Untuk mendukung pernyataan ini, selanjutnya akan dijelaskan melalui; (1) pencapaian dan tantangan yang dihadapi Cina untuk meninggalkan sumber daya energi tak terbarukan, (2) bagaimana membangun energi terbarukan memberi keuntungan bagi Cina baik dalam domestik maupun kontestasi kekuasaan global, serta (3) bagaimana di sisi lain, Cina belum mampu meninggalkan skema energi bahan bakar fosil sepenuhnya.

Pada akhir 2014, dalam Climate Change Communiqué antara Cina-AS pada APEC, Cina menyatakan bertekad untuk mencapai puncak emisi CO2 sebelum maksimal 2030. Selanjutnya, pada 30 Juni 2015, Cina menyerahkan dokumen Intended Nationally Determined Contributions (INDC) kepada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), dengan begitu secara resmi berkomitmen untuk mencapai puncak emisi CO2 sekitar tahun 2030 dan sebisa mungkin berupaya untuk mencapai puncak lebih awal dari target. Selain itu, Cina juga berkomitmen untuk menurunkan emisi CO2 per unit PDB sebesar 60% hingga 65% dari tingkat 2005 serta meningkatkan pangsa bahan bakar non fosil dalam konsumsi energi primer menjadi sekitar 20%. Penetapan agenda revolusi energi ini mengimplikasikan pesan bahwa Cina menyadari pentingnya energi terbarukan untuk keamanan energi, pembangunan yang berkelanjutan, kebutuhan perekonomian yang rendah (emisi) karbon, dan menunjukkan komitmen memerangi perubahan iklim Cina di khalayak internasional. Konsumsi batubara Cina yang pada 2017 mencapai 60,4% dari total konsumsi energinya pada 2018 mengalami penurunan ke 59% dari total konsumsi energi, sementara konsumsi energi terbarukan (termasuk diantaranya energi gas alam, air, nuklir, dan angin) meningkat dari 20.8% ke 22.1%. Dalam laporan Renewable Energy Policy Network for the 21st Century (REN21) yang dirilis tahun 2019 dan berdasarkan indikator-indikator kapasitas kekuatan energi terbarukan yang ditetapkannya, Cina memimpin dalam ranking dunia di sepuluh dari enam belas indikator, terutama dalam sumber energi air, solar, dan angin. Cina juga berinvestasi pada proyek-proyek energi terbarukan melalui kontribusi di organisasi-organisasi multilateral, salah satunya dengan menyediakan pinjaman jangka panjang sebesar USD 811 juta melalui BRICS New Development Bank untuk mendanai proyek energi terbarukan anggota-anggotanya (Brazil, Russia, India, Cina, dan Afrika Selatan).

Pencapaian-pencapaian ini menjadi gambaran umum berbagai keuntungan yang didapat Cina dengan mengembangkan sumber daya energi terbarukannya. Secara praktikal, upaya ini tentu dapat menjadi solusi isu polusi yang dihadapi Cina. Dengan nuansa urgensi perubahan iklim yang menjadi konsensus global (melalui Perjanjian Paris 2015), khalayak internasional tentu mendukung upaya Cina untuk menghijaukan sumber energinya, terlebih mengingat predikat Cina sebagai negara penghasil emisi karbon terbesar di dunia. Selain keuntungan dalam aspek keberlangsungan lingkungan, Cina juga menyumbang (dan mendapatkan) keuntungan geopolitik dari penghijauan sumber energi ini. Mengkorporasikan lebih banyak persentase energi terbarukan dalam pemenuhan kebutuhan energi dapat memitigasi tensi geopolitik, mengingat persebaran energi terbarukan seperti dari tenaga gelombang air, tenaga angin, dan tenaga solar yang jauh lebih merata dibandingkan bahan bakar fosil. Dengan begitu, hal ini memungkinkan terbukanya pasar energi yang tidak bergantung pada bahan bakar fosil, dengan demikian tidak tergantung pula pada sulitnya membangun dan mengamankan infrastruktur serta rute distribusi sumber daya fosil yang persebarannya tidak merata. Terlebih mengingat bahwa perebutan sumber daya berbahan fosil ini kerap kali menjadi akar pusaran konflik internasional. Faktor ini kerap kali mendorong Cina untuk meningkatkan kehadiran militernya di wilayah-wilayah yang dianggap berpotensi memiliki kekayaan sumber daya tak terbarukan dan memicu tensi serta ketidakstabilan wilayah. Hal ini tampak misalnya dalam konflik teritorial Kepulauan Spratly di wilayah Laut Cina Selatan antara Cina dengan beberapa negara ASEAN (Filipina, Malaysia, Vietnam, Brunei, bahkan Taiwan), atau dalam sengketa wilayah Kepulauan Diaoyu atau Senkaku antara Cina dan Jepang. Mendiversifikasikan sumber ekstraksi energi dapat mengurangi tensi karena Cina (dan negara-negara lain yang berkapasitas serupa) tidak akan lagi terlalu termotivasi untuk mengerahkan militer ke wilayah-wilayah kedaulatan lain dan ‘memancing keributan’ dalam nama mengamankan sumber daya fosil.

Ketika AS dibawah Presiden Trump mengundurkan diri dari komitmen Perjanjian Paris di 2017 lalu, hal ini menimbulkan gejolak kontroversi, gelombang kepanikan dan frustasi menyelimuti khalayak internasional. Dunia kemudian berpaling pada Cina, menyoroti setiap gerak geriknya dalam upaya pengurangan emisi karbonnya–hampir-hampir menjadikan Cina sebagai satu-satunya yang dapat diharapkan untuk menghindarkan dunia dari malapetaka iklim seraya merutuki AS yang dianggap melepas tanggung jawabnya. Meningkatkan kapasitas energi terbarukan menjadi peluang Cina untuk masuk dan menggunakan kesempatan ini untuk menguatkan citra Cina sebagai negara yang memiliki solidaritas internasional, mengingat banyaknya peristiwa dimana Cina dipandang sebagai antagonis (dipandang mencederai demokrasi dalam isu Hongkong, dikritik atas pelanggaran HAM kepada kelompok Muslim di Uyghur, dan lain sebagainya). Pidato Presiden Xi Jinping dalam Majelis Umum PBB 2020 yang mengafirmasi komitmen Cina untuk mengurangi emisi karbonnya menjadi sebuah manuver brilian, mengingat pidato ini disampaikan tidak lama setelah pidato Presiden Donald Trump yang terang-terangan menyalahkan polusi emisi karbon Cina. Meskipun banyak analis memperkirakan bahwa China dapat mencapai emisi puncak pada tahun 2030, pernyataan ini disambut oleh Uni Eropa yang telah bernegosiasi dengan China untuk menetapkan target netralitas karbon dan memajukan target pencapaian emisi pundak ke tahun 2025.

Meskipun dalam hubungannya dengan negara-negara maju dalam bidang energi terbarukan perkembangan Cina menjadi sebuah pemupuk hubungan baik dan sedikit banyak mereduksi tensi dari keasertifan Cina di bidang lain, perlu dicatat pula bagaimana dinamika Cina dalam agenda penghijauan energi, masih terdapat faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan sebelum memandang hal ini sebagai sepenuhnya ‘baik’–seperti pepatah yang mengatakan bahwa sesungguhnya, di dunia ini tidak ada yang disebut dengan sepenuhnya hitam atau putih. Terlepas dari pencapaian Cina dalam memperbesar kapasitas infrastruktur energi terbarukannya, sebuah laporan yang dirilis oleh Overseas Development Institute (ODI) dan kontributor-kontributornya pada 2019 mengungkap bagaimana negara-negara G20 telah menambah hingga hampir tiga kali lipat subsidi bagi pembangkit listrik tenaga batubara (PLTU Batubara), terlepas dari komitmen mereka untuk mengurangi seluruh subsidi bahan bakar fosil. Dalam konteks Cina, dapat dikatakan bahwa sembari ‘membersihkan’ konsumsi energi tak terbarukan dalam negerinya, Cina seakan mengekspor emisinya dengan turut mengalokasikan dana untuk mendukung pembangunan PLTU Batubara di negara-negara lain. Penulis utama laporan ODI, Ipek Gencsu, mencatatkan bahwa penerima terbesar pembiayaan ini adalah negara-negara yang tengah mencoba berkembang menuju pembangunan industrialisasi seperti Bangladesh, Indonesia, Pakistan, dan Vietnam– dan, tidak mengagetkan, juga adalah negara-negara yang bekerjasama dengan Cina dalam program Belt and Road Initiative (BRI)-nya.

Mengambil contoh Indonesia, pada tahun 2017, tiga bank China, termasuk China Construction Bank, ICBC dan Bank of China, termasuk bank yang menyumbang pinjaman terbesar di dunia untuk pembiayaan energi fosil. Dari keseluruhan 28 proyek senilai Rp. 1.296 Triliun yang akan dibiayai dalam rangka BRI, di dalamnya terdapat pula program pembangunan pembangkit listrik yang bersumber dari energi tak terbarukan, antara lain: PLTU Batubara dengan kapasitas 1.000 Mw International Industrial and Port Area (KIPI) di Kalimantan Utara, PLTU Batubara 2x350 Mw di Bali, PLTU Mulut Tambang Kalselteng 3 berkapasitas 2x100 Mw dan Kalselteng 4 berkapasitas 2x100 Mw di Kalimantan Tengah. Selain dari BRI, Cina juga masih mengimpor batubara termal dari Indonesia yang meskipun pada sepuluh bulan pertama turun 24.5% hingga 86.88 juta ton, pada akhir November 2020 akan mengimpor batubara senilai USD 1,467 milyar, ungkap ketua Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia. Berhubung negara-negara ini belum memiliki sumber daya baik teknologi, material, maupun manusia yang mumpuni untuk beralih ke sumber energi terbarukan dalam skala besar, masih sangat disayangkan bagaimana kerjasama dalam bidang energi tak terbarukan masih dipandang sebagai prospek besar bagi kedua pihak bahkan dalam bayang-bayang krisis iklim.

Dari penjabaran di atas, dapat dipahami gambaran yang lebih holistik dalam mengafirmasi peran Cina sebagai pemrakarsa energi hijau di dunia. Meskipun tampak menjanjikan di satu sisi, masih diperlukan pertimbangan lebih lanjut untuk benar-benar menyematkan gelar pemimpin dunia dalam bidang energi terbarukan pada Cina. Perlu diingat pula bagaimana absennya AS di bawah Trump dari perjuangan melawan perubahan iklim memaksa dunia untuk jauh lebih menyoroti Cina dan pencapaian-pencapaiannya dalam pandangan yang positif dan optimistik. Meskipun demikian, dengan perubahan drastis sumber energi Cina pun, sekiranya masih belum pantas bagi masyarakat dunia untuk merasa aman dari ancaman perubahan iklim mempertimbangkan berbagai faktor penghalang dalam mencapai target emisi dan memperlambat pemanasan global. Upaya menghijaukan produksi dan konsumsi energi global yang dibutuhkan adalah perombakan besar-besaran struktural rantai industrialisasi, dengan kata lain mentransformasi perekonomian dunia–dan tidak dapat dipungkiri bahwa masih banyak negara yang tidak mampu membayar harga ini bahkan demi cita-cita keselamatan bumi sekalipun.

Kepustakaan

Chiu, D., ‘The East Is Green: China’s Global Leadership in Renewable Energy,’ New Perspectives in Foreign Policy, no. 13, 2019, p.5.

Liu, Q., Lei, Q., Xu, H., & Yuan, J. ‘China’s energy revolution strategy into 2030’, Resources, Conservation and Recycling, vol. 128, 2018, pp. 78–89.

State Council of the People’s Republic of China, Notice of the State Council on Issuing “Made in China 2025”, GOV.CN, Beijing, 2015, sebagaimana dikutip dalam Q. Liu, Q. Lei, H. Xu, & J. Yuan, ‘China’s energy revolution strategy into 2030’, Resources, Conservation and Recycling, vol. 128, 2018, p. 78.

Gencsu, I., et.al., ‘G20 coal subsidies: tracking government support to a fading industry,’ Overseas Development Institute, Juni 2019, <https://www.odi.org/publications/11355-g20-coal-subsidies-tracking-government-support-fading-industry >, diakses pada 22 Desember 2020, sebagaimana dikutip dalam C. Zhou, ‘China

Valcovici, V., ‘China calls for global ‘green revolution’ as Trump goes solo on climate,’ REUTERS (daring), 23 September 2020, <https://www.reuters.com/article/un-assembly-climatechange-idUSKCN26D2KA>, diakses pada 22 Desember 2020

Zhou, C., ‘China remains the world’s worst polluter but did you know it’s also a leader in renewable energy?,’ ABC News (daring), 1 Juli 2019, <https://www.abc.net.au/news/2019-07-01/china-leader-in-renewable-energy-wages-war-on-pollution/11249162>, diakses pada 22 Desember 2020.

Belt and Road Initiative (BRI) will impose more burdens to the Indonesian people’ , Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) (daring), 29 April 2019, <https://www.walhi.or.id/belt-and-road-initiative-bri-will-impose-more-burdens-to-the-indonesian-people>, diakses pada 23 Desember 2020.

‘CLIMATECLOCK,’ ClimateClock World (daring), 2020, <https://climateclock.world/>, diakses pada 22 Desember 2020.

‘Renewables 2019 Global Status Report,’ Renewable Energy Policy Network for the 21st Century (daring), 2019, <https://www.ren21.net/wp-content/uploads/2019/05/gsr_2019_full_report_en.pdf>, diakses pada 22 Desember 2020, p.25.

--

--