Big Data dan Belahan Bumi Selatan: Bentuk Kolonialisme Modern

Laras Kineta
7 min readJan 16, 2022

--

Sumber: BankingHub

Esai ini dibuat untuk memenuhi penugasan ujian akhir semester mata kuliah Metode Riset Hubungan Internasional (Dasar).

Tulisan ini dibuat menggunakan layanan Google Docs, yang terintegrasi dari akun surel pribadi, diakses melalui browser Google Chrome yang juga terintegrasi dari akun surel yang sama. Informasi yang diperlukan untuk kuliah daring dapat diakses melalui akun Facebook. Tidak lupa untuk mengakses gawai laptop yang saya gunakan, diperlukan akun Apple yang juga digunakan untuk aplikasi-aplikasi lain. Hanya untuk kegiatan sesederhana ini, sudah dapat dihitung berapa penyedia layanan memiliki akses terhadap data penulis. Skenario ini hanya sebagian kecil dari pengalaman sebagai pengguna internet, namun tentu dirasakan mayoritas pengguna internet dalam berbagai tingkatan. Hal-hal yang tampak sepele dan sudah menjadi bagian dari keseharian ini menuntun saya untuk menyadari suatu realita–bahwa kita sudah memberikan data pribadi kita secara sukarela tanpa pemahaman penuh atas apa yang dapat dilakukan dengannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa telah menjadi sebuah kebiasaan untuk selalu menerima apapun yang tertera dalam halaman-halaman panjang berukuran kecil dari teks penjelasan syarat dan ketentuan situs web atau layanan internet apapun, mata kita sigap mengidentifikasi letak check-box bertuliskan “I agree”. Bahkan generasi Z telah memiliki ungkapan yang tepat untuk menggambarkannya, tl;dr–too long, didn’t read (terlalu panjang, tidak dibaca). Hal ini menunjukkan bagaimana mayoritas pengguna internet memiliki kesadaran dan cenderung mengesampingkan keamanan datanya, terlebih pengguna internet di bumi bagian selatan dengan tingkat literasi dan kemampuan berbahasa Inggris yang tergolong rendah.

Pada Rabu, 9 Desember 2020, Federal Trade Commission dalam pemerintahan federal Amerika Serikat, bersama dengan 48 Jaksa Agung dari 46 negara bagian dan dua distrik melayangkan tuntutan resmi pada Facebook di bawah CEO-nya, Mark Zuckerberg, dengan tujuan untuk memecah perusahaan jejaring sosial adikuasa ini atas keterlibatannya dalam penggunaan taktik ilegal dan anti-kompetitif (Romm, 2020). Tuntutan ini menjadi yang teranyar dalam sejarah Facebook dan isu etika berteknologinya. Hal seperti ini mungkin terdengar masuk akal, ketika privasi data warga negaranya terancam, negara akan bertindak dalam nama kepentingan keamanan masyarakatnya. Namun skenario seperti ini hanya dapat ditemukan di belahan bumi utara yang berisi negara maju, sebab kebanyakan negara berkembang belum memperhatikan (atau bahkan belum menyadari) urgensi dari keamanan siber, dan maka dari itu juga belum memiliki mekanisme legal yang dapat menjamin keamanan masyarakatnya ketika berselancar dalam jaringan.

Ketika ditelusuri lebih lanjut, relasi yang terbangun dalam dinamika big data global adalah serupa dengan skema kolonialisme, dimana secara umum negara kolonialis (utara) membangun infrastruktur yang dapat digunakan untuk mengekstraksi sumber daya dari negara yang dikoloni (selatan). Dalam praktik kontemporer kolonialisme digital berakar pada desain ekosistem teknologi untuk tujuan keuntungan. Jika jalur kereta api dan perdagangan maritim adalah “jalur terbuka” dari Selatan saat itu, kini infrastruktur digital mengambil peran yang sama: perusahaan data besar menggunakan perangkat lunak berpemilik, cloud perusahaan, dan layanan internet terpusat untuk memata-matai pengguna, memproses datanya, dan memberikan layanan yang dibuat untuk subjek wilayah kekuasaan data mereka (Kwet, 2019). Praktik yang paling menguntungkan bagi perusahaan-perusahaan ini adalah bagaimana dengan memonitor dan mengumpulkan pola penggunanya dalam berinternet, media sosial mampu menyediakan lahan periklanan yang menarik bagi pemilik usaha. Bagaimana Facebook berfungsi menjadi benchmark dalam dinamika per-platform-digital-an. Facebook dengan cermat meneliti hal-hal kecil dari pergerakan daring penggunanya. Detail yang kerap diberikan orang secara sukarela–usia, perusahaan, status hubungan, kesukaan, dan lokasi–hanyalah permulaan. Pelacakan dilakukan menggunakan sejumlah perangkat lunak, baik penggunanya maupun non-pengguna bahkan dalam situs dan aplikasi lain melalui beberapa macam perangkat lunak. Ketika pengguna internet menjelajah ke situs lain, Facebook masih dapat memantau apa yang mereka lakukan dengan fitur seperti tombol “Suka” dan “Bagikan”, serta sesuatu yang disebut Facebook Pixel–kode tak terlihat yang dijatuhkan ke situs web lain yang mengizinkan situs tersebut dan Facebook untuk melacak aktivitas pengguna (Singer, 2018).

Internet, khususnya bagaimana ia mengkultivasi suatu ekosistem dalam jaringan (daring) yang berpondasi data dari pengguna-penggunanya –yang kini adalah mayoritas warga dunia dengan 4,66 milyar penduduk dunia atau sekitar 59% dari total penduduk dunia (Statista, 2020) )–, telah membentuk cara hidup baru dunia. Analisis big data mulai dari proses pengambilan data hingga bagaimana data tersebut selanjutnya digunakan telah mereformasi kapitalisme dan mendaur ulang siklus kolonialisme, membungkus kapitalisme dan melebarnya gap kesenjangan global dalam selimut modernisasi. Kehadiran sistem analisis big data meredefinisi bentuk kolonialisme modern dalam relasi kuasa antara bumi belahan utara dan selatan.

Pengetahuan yang digunakan untuk menyusun kerangka pikir penelitian ini dapat dicari dan diterima dari beberapa sumber data, antara lain data jumlah pengguna internet terbanyak berdasarkan negara dan tingkat penetrasi internetnya, serta data perusahaan yang mengolah, memproses, maupun menggunakan analisis big data demi keuntungannya dan negara induknya, serta data regulasi keamanan siber yang mengatur tata baik pengambilan maupun penggunaan data yang berlaku di negara maju dan berkembang. Data yang didapatkan kemudian dimaknai sebagai interpretasi suatu sistem kolonialisme modern. Dengan pengetahuan yang terjabarkan dalam data di bagian berikut, peneliti dapat mencapai pemahaman bahwa bahkan di era modern ini, masih terdapat relasi yang bersifat kolonialis antara global north dengan global south, dimotori oleh penggunaan data penduduk dunia untuk keuntungan komersial –dengan ciri khas kolonialisme yang memonopoli pengetahuan– serta ketimpangan sistem keamanan siber antara negara-negara di wilayah utara dan selatan.

Menggunakan data yang dilansir Internet World Stats pada kuarter pertama 2020, VisualCapitalist menghubungkan data jumlah pengguna internet dengan persentase penetrasi internet di negara tersebut. Hasilnya, meskipun secara jumlah pengguna negara-negara Selatan menyumbang besar, tingkat penetrasi internetnya (TPI) masih cukup jauh dibawah negara Utara. Di antara sembilan teratas jumlah pengguna internet, hanya terdapat tiga negara dari hemisfer utara yakni AS (313 juta, TPI 95%), Jepang (118 juta, TPI 94%), dan Rusia (116 juta, TPI 79%). Sementara enam sisanya berasal dari hemisfer selatan yakni Cina (854 juta, TPI 59%), India (560 juta, TPI 41%), Indonesia (171 juta, TPI 62%), Brazil (149 juta, TPI 70%), Nigeria (126 juta, TPI 61%), dan Bangladesh (94 juta, TPI 57%). Persentase TPI perlu turut menjadi pertimbangan karena hal ini juga merepresentasikan bagaimana negara-negara Selatan mayoritas hanya menjadi pengguna, tanpa kemampuan untuk mengembangkan teknologinya, sejalan dengan konsep monopoli ilmu pengetahuan khas kolonialisme.

Statista menyediakan berbagai laporan statistik terkait demografi pengguna media sosial, salah satunya Facebook yang saat ini didapuk sebagai terbesar dengan lebih dari 2,7 milyar pengguna bulanan. Meskipun India menyumbang pengguna (310 juta pengguna) terbesar bagi Facebook, ketika dilihat lokasi 15 pusat data yang dimilikinya terdapat persebaran yang timpang– sepuluh di Amerika Utara, empat di Eropa, dan hanya satu di Asia yakni di Singapura (Statista, 2020). Hal ini menunjukkan diskoneksi antara sumber data dan lokasi pusat data, cukup untuk memantik tuduhan dari negara-negara seperti India tentang “kolonisasi data” dan “kolonialisme digital”, mengingat dalam sepuluh pengguna teratas Facebook, negara-negara Selatan secara menempati peringkat pertama dan ketiga hingga kesepuluh–India, Indonesia, Brazil, Meksiko, Filipina, Vietnam, Thailand, Mesir, Bangladesh, dan Pakistan. Instagram, anak perusahaan Facebook dan media sosial ketiga terbanyak digunakan, memiliki komposisi pengguna yang juga didominasi dari negara-negara berkembang dan persebaran pusat pengolahan data yang serupa.

Selain dalam basis pengguna, perlu juga kita melihat bagaimana terdapat ketimpangan dalam regulasi keamanan siber yang dimiliki negara-negara Utara dan Selatan. United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) menyediakan data pemetaan legislasi kejahatan siber secara global. Sementara 154 negara (79 persen) telah memberlakukan undang-undang kejahatan siber, polanya bervariasi menurut wilayah: wilayah Eropa memiliki tingkat adopsi tertinggi (93 persen) dan Asia Pasifik terendah (55 persen). UNCTAD mengelompokkan datanya dalam beberapa kelompok peraturan yakni hukum yang mengatur transaksi elektronik, privasi perlindungan data, kejahatan siber, dan perlindungan konsumen. Dalam persebarannya, pola serupa terlihat dari masing-masing sektor hukum. Dalam hukum transaksi elektronik, Eropa menempati urutan pertama dengan 98% negaranya telah mengadopsi legislasinya, diikuti dengan wilayah Amerika (91%), menurun ke Asia Pasifik (82%), Least Developed Countries (LDCs) (64%), Small Islands Developing States (SIDS) (62%), dan Afrika (61%). Dalam privasi perlindungan data, Eropa juga memimpin dengan 96%, dan kali ini ketimpangan lebih terasa dengan diikuti wilayah Amerika (69%), Asia Pasifik (57%), Afrika (50%), LDCs (43%), bahkan hanya 34% di SIDS. Pola serupa tampak perbandingan legislasi terkait kejahatan siber dan perlindungan konsumen, dengan Eropa memimpin jauh dan wilayah-wilayah negara berkembang tertatih mengejar.

Data yang dipaparkan di atas menjadi landasan interpretasi relasi kuasa kolonialisme model baru yang berbasis data, lagi-lagi menempatkan negara utara sebagai negara inti dan negara selatan sebagai negara periferi. Menilik dari realita ini, penulis ingin meneliti lebih lanjut dengan mempertanyakan bagaimana komodifikasi dan kolonialisme data menjadi ancaman keamanan non tradisional di bumi bagian Selatan, terutama mengingat cepatnya laju digitalisasi dan perkembangan teknologi yang membuka peluang semakin besar penyalahgunaan data dan kejahatan siber. Apabila negara-negara Selatan tidak segera menyadari dan menempatkan keamanan datanya dalam prioritas yang lebih tinggi, siklus kolonialisme berselimut kapitalisme data ini akan semakin memperbesar ketimpangan antara kedua belahan dunia.

REFERENSI

Ang, C. (2020, November 3). Which Countries Have the Most Internet Users? Visual Capitalist. Retrieved December 15, 2020, from https://www.visualcapitalist.com/countries-with-most-internet-users/

Clement, J. (2020, November 24). Global digital population as of October 2020. Statista. Retrieved December 14, 2020, from https://www.statista.com/statistics/617136/digital-population-worldwide/

Clement, J. (2020, November 24). Countries with the most Facebook users 2020. Statista. Retrieved December 14, 2020, from https://www.statista.com/statistics/268136/top-15-countries-based-on-number-of-facebook-users/

Clement, J. (2020, November 30). Countries with the most Instagram users 2020. Statista. Retrieved December 14, 2020, from https://www.statista.com/statistics/578364/countries-with-most-instagram-users/

Kwet, M. (2019, March 13). Digital colonialism is threatening the Global South. Al Jazeera. Retrieved December 13, 2020, from https://www.aljazeera.com/opinions/2019/3/13/digital-colonialism-is-threatening-the-global-south/

Romm, T. (2020, December 10). U.S., states sue Facebook as an illegal monopoly, setting stage for potential breakup. The Washington Post. Retrieved December 13, 2020, from https://www.washingtonpost.com/technology/2020/12/09/facebook-antitrust-lawsuit/

Singer, N. (2018, April 11). What You Don’t Know About How Facebook Uses Your Data. The New York Times. Retrieved December 14, 2020, from https://www.nytimes.com/2018/04/11/technology/facebook-privacy-hearings.html

United Nations Conference on Trade and Development. (2020, February 4). Cybercrime Legislation Worldwide. UNCTAD. https://unctad.org/page/cybercrime-legislation-worldwide

--

--